SAYEMBARA MOS
Oleh: Oki Kurniawan[1]
بــــسم الله الرّحمن الرّحيم
M
|
asa liburan anak sekolah sudah habis. Saatnya
kembali ke sekolah. Pagi-pagi di jalanan, ada pemandangan yang baru tapi lama. Melihat
anak-anak menuju sekolahnya, dengan pakaian seragam yang masih mentereng, tas baru, juga sepatu baru
yang masih kinclong. Senangnya, melihat pemandangan seperti itu. Rasanya ingin
kembali ke masa-masa sekolah lagi deh. Setiap tahun ajaran baru, dibeliin tas
baru, sepatu baru, buku baru, semua baru, tapi papa-mama tidak pernah membelikan
pacar baru saat tahun ajaran baru dimulai. Hahaha….
Di antara pemandangan
tersebut, ada yang berpenampilan cukup aneh. Ada yang memakai kaus kaki yang
berbeda warna, di kanan warna biru, di kiri wana merah. Ada yang memakai topi
berbentuk kerucut, ada juga yang memakai keranjang sampah yang biasa ada di
dapur. Ada yang rambutnya dikuncir dengan gaya yang aneh. Lucu juga, hiburan
tersendiri bagi yang melihatnya. Bagi siswa tersebut, mungkin ia merasa malu
sepanjang jalan karena menjadi bahan tertawaan, ledekan, atau bahkan senyuman
sinis orang. Apakah pendidikan menginginkan seseorang menjadi bahan ledekan
orang lain? Tentu tidak!
Setiap tahun ajaran
baru, setiap sekolah pasti mengadakan kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS), kepada
seluruh siswa baru. Entah apa yang menjadi tujuan dari MOS yang ada di
sekolah-sekolah, baik di tingkat SMP maupun tingkat SMA. Apakah sebagai ajang pengenalan
lingkungan sekolah kepada siswa baru? Namun, yang sering terjadi adalah
kegiatan MOS yang itu-itu saja. Tidak jarang acara MOS dijadikan sebagai ajang
untuk melakukan tindakan perploncoan, senioritas, membuat malu peserta didik
baru, dan merepotkan orang tua siswa.
Kita bisa bertanya
pada adik-adik kita yang sedang menjalani MOS. Atribut apa yang mereka harus
kenakan serta penugasan seperti apa yang harus mereka kerjakan? Tidak jauh dari
apa yang saya gambarkan diatas. Kaus kaki belang warna-warni, ikat rambut, nametag
besar di dada, tas dari kardus atau dari keranjang sampah. Belum lagi dengan barang-barang
yang harus dibawa oleh para siswa. Ada yang disuruh bawa uang kertas pecahan Rp
100 atau Rp 500. Tentu ini ‘kan
merepotkan dan susah dicari.
Ada juga yang ditugasi
membawa makanan atau coklat dengan merk tertentu. Apakah ini tidak memberatkan
siswa atau orang tua siswa? Karena mereka harus mengeluarkan biaya untuk
membeli perlengkapan MOS. Bagi orang tua, tentu tidak tega jika anaknya ‘mendapatkan
hukuman’ atau ‘dikerjai’ oleh senior-seniornya, jadi sesulit dan serepot apapun
akan diusahakan oleh orang tua siswa untuk anak-anaknya. Apakah hal ini tidak
diperhatikan oleh para senior?
Sudah diusahakan
dengan susah payah oleh orang tua dan siswa tersebut, disekolah masih saja
dicari-cari kesalahan-kesalahan dari siswa tersebut. Bagi siswa baru, tidak ada
pilihan lain, yaitu menuruti saja apa yang diminta seniornya.
Ada juga siswa baru di
tingkat SMP. Biasanya ketika masa-masa MOS, siswa baru SMP masin memakai
seragam SD. Apakah hal ini masih pantas? Bagaimana jika seragam SD-nya sudah
kekecilan? Rok-nya sudah kependekan? Bukankah ketika sudah masuk SMP, siswa tersebut
sudah bisa dikatakan sudah beranjak remaja, bukan anak-anak lagi? Apa pantas
seorang remaja memakai pakaian anak-anak? Tidak heran, jika selepas MOS ada
siswa yang memakai seragam SMP namun ukurannya SD.
Memang kegiatan MOS
ini hanya selama 3 hari atau paling lama 1 minggu. Tapi 3 hari atau satu minggu
ini bisa terkenang sampai seumur hidup dan bisa terjadi berulang-ulang selama
bertahun-tahun. Buktinya, dari dulu sampai sekarang kegiatan MOS tidak pernah
berubah. Kesan pertama, akan sulit untuk dilupakan.
Kesan pertama ketika
masuk SMP atau SMA mendapatkan perlakuan seperti itu, tentu akan selalu
teringat bagi siswa tersebut, dan dijadikan pedoman untuk membuat acara serupa
ditahun yang akan datang ketika mereka sudah di tingkat 2 atau tingkat 3.
Alhasil kegiatan MOS dijadikan sebagai ajang ‘balas dendam’ bagi para senior.
Saatnya membuka mata
dan merubah paradigma. MOS jangan lagi dijadikan sebagai ajang untuk ‘Merepotkan
Orang tua Siswa’ atau dijadikan sebagai suatu kesenangan ‘Melihat Orang Susah’.
Apa esensinya siswa baru diminta berpenampilan dengan kaus kaki yang berbeda
warna, memakai tas dari kardus atau keranjang sampah, rambut dikuncir aneh
dengan ikat rambut berwarna-warni?
MOS harus benar-benar
sebagai masa orientasi siswa. Pengenalan lingkungan sekolah terhadap siswa,
pengenalan terhadap tenaga pendidik, pengenalan kepada kegiatan ekstrakulikuler
di sekolah dan mengarahkan siswa untuk berpartisipasi aktif, serta pemberian motivasi
kepada siswa agar betah di sekolah barunya. Karena sekolah merupakan ladang
untuk mencari ilmu dan juga rumah kedua bagi para siswa selama 3 tahun kedepan.
Untuk itu, suasana nyaman bagi para siswa mutlak diperlukan.
MOS harus dijadikan
ajang untuk memberikan kesan pertama yang menyenangkan dan membuat nyaman bagi
para siswa baru. Agar suasana ini bisa terpatri di dalam sanubari para siswa
dan dapat ditularkan kembali kepada adik-adik mereka di tahun-tahun yang akan
datang.
Tidak ada salahnya, jika kepala daerah, gubernur, atau menjadi Menteri Pendidikan
Nasional, mengadakan sayembara kegiatan
MOS terbaik. Sekolah mana yang berhasil melaksanakan kegiatan MOS dengan baik,
mendidik, dan sesuai dengan nafas filosofis pendidikan di Indonesia, yaitu “menciptakan proses pembelajaran (learning process) agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian dan kecerdasan, akhlak manusia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”, seperti
dalam Pasal 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. MOS merupakan bagian dari
proses pembelajaran.
Meskipun sekolah
memiliki otonominya sendiri, tidak ada salahnya, sebagai seorang kepala daerah, gubernur atau menteri
pendidikan nasional mengevaluasi kegiatan yang ada di sekolah, demi terciptanya
semangat fasthabiqul khairats,
berlomba-lomba dalam kebaikan antar sekolah.
Komentar
Posting Komentar