KE JAKARTA NAIK ESEMKA

Oleh : Oki Kurniawan*


HEBOH….!!!! Kemunculan mobil Kiat Esemka beberapa bulan lalu menjadi euforia tersendiri bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat kota Solo sebagai tempat kemunculannya. Mobil Esemka dilahirkan dari Solo Techno Part dan juga dibantu oleh para pelajar SMK di Solo. Kelahiran Esemka ini, sedikit mengobati kerinduan masyarakat akan prestasi anak negeri ditengah berbagai persekongkolan yang dilakukan para elit negeri. Esemka pun digadang-gadang untuk dijadikan mobil nasional (mobnas). Walaupun sampai saat ini Esemka masih belum lulus uji emisi. Sebenarnya, sudah banyak embrio-embrio mobil nasional yang sudah ada sebelum Esemka lahir, tapi kemunculan Esemka memiliki kehebohan tersendiri. Mobil Esemka ini ‘meledak’ dan menjadi buah bibir karena ada sosok lain saat peluncurannya, yaitu walikota Solo, Joko Widodo.
            Mobil Esemka semakin meroket dan menghiasi layar televisi manakala Joko Widodo atau yang akrap disapa Jokowi, mengambil sikap untuk menjadikan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Sikap Jokowi tersebut pun menuai pro-kontra ditengah-tengah masyarakat. Ada yang memberikan komentar negatif, namun juga tidak sedikit yang memberikan apresiasi atas sikap tersebut. Bukan hanya Esemka-nya yang menjadi buah bibir, sosok Jokowi-nya pun mulai menjadi semakin populer di tengah-tengah masyarakat dan semakin mendapatkan simpati publik.
            Semakin sering pemberitaan tentang mobil Esemka, semakin sering pula perbincangan tentang siapa itu Jokowi. Melalui berbagai pemberitaan di media massa tersebut, masyarakat luas kini bisa mengetahui tentang siapa itu Jokowi. Kesederhanaan, kerakyatan, dan prestasi-prestasi Jokowi dalam memimpin Solo kini telah diketahui oleh masyarakat yang berada diluar kota Solo. Penertiban PKL melalui pendekatan persuasif, concern-nya terhadap keberlangsungan hidup para pedagang kecil, dan pengembangan pasar tradisional merupakan beberapa prestasinya yang kini telah dikenal oleh masyarakat secara luas.
Kini, sang walikota Solo tersebut ikut bertarung di pesta demokrasi di Jakarta. Ia diusung oleh PDIP yang juga berkoalisi dengan partai Gerindra, sebagai calon orang nomor wahid di Ibukota. Banyak bakal calon yang ada di partai berlambang kepala banteng untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Namun, diakhir-akhir masa penutupan pendaftaran cagub dan cawagub oleh KPUD Jakarta, nama Jokowi yang disiapkan untuk bertarung dengan 5 calon lainnya untuk memperebutkan amanah sebagai Gubernur Ibukota. Apakah mobil Esemka dan success image-nya memimpin Solo bisa mengantarkan Jokowi menuju Ibukota?
Kita ketahui bersama, dalam sistem demokrasi ini untuk berhasil menjadi seorang Gubernur bukan dihitung dari seberapa banyak dia bisa mengumpulkan fotocopy KTP penduduk, atau seberapa banyak dia mendapat dukungan dari partai-partai yang ada di parlemen, yang membuat seorang menjadi gubernur adalah yang paling tinggi mendapat dukungan suara dari masyarakat dalam pemilihan umum (pemilu). Oleh karena itu, untuk mendapatkan dukungan suara dari pemilih, seorang cagub-cawagub beserta tim suksesnya harus bisa mengetahui segmentasi-segmentasi para pemilih (masyarakat/konstituen) dan bagaimana perilaku mereka dalam memilih. Pun begitu dengan Jokowi, Esemka dan track record-nya sebagai walikota Solo bukan merupakan faktor utama yang akan mengantarkannya berkantor di Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8-9, Jakarta.   
Secara teoritis, perilaku memilih (voting behavior) masyarakat didasarkan pada 3 pendekatan ini yaitu pendekatan sosio-struktural, pendekatan psikologis, dan pendekatan pilihan rasional (rational choice). Secara empirik, pendekatan ini masih cukup relevan untuk menggambarkan perilaku memilih bagi masyarakat Ibukota saat ini. Karena kota Jakarta berpenduduk yang memiliki karakter, latar belakang, tingkat pendidikan, dan profesi berbeda-beda.
Pertama yaitu pendekatan Sosio-struktural, pendekatan ini menekankan pentingnya beberapa hal yang berkaitan dengan instrumen-instrumen kemasyarakatan seseorang seperti status sosial-ekonomi, suku, agama, wilayah tempat tinggal, dan atribut-atribut yang bersifat sosiologis lainnya dari para calon. Pola perilaku pemilih yang menunjukan adanya kaitan erat antara pemilih dengan aspek-aspek sosial struktural yang lebih dominan. Sebagai contoh, seseorang yang dibesarkan dan hidup dilingkungan santri atau pesantren, kecenderungannya juga akan memilih calon-calon yang berlatar belakang santri atau yang beragama Islam. Atau memilih pilihan yang sama dengan pilihan orang tuanya atau lingkungannya.
Kedua yaitu pendekatan psikologis. Dalam pendekatan ini, para pemilih yang lebih mengedepankan aspek psikologis. Aktivitas memilih merupakan aktivitas individu. Persepsi dan penilaian pribadi terhadap terhadap sang kandidat atau tema-tema yang diangkat sangat berpengaruh terhadap pilihannya dalam pemilu. Jadi, yang membuat orang tertarik untuk memilih calon adalah karena ketertarikannya pada figur (tokoh) atau isu-isu yang dikeluarkan oleh calon tersebut.
Ketiga yaitu pendekatan pilihan rasional (rational-choice), dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam Tempat Pemungutan Suara (TPS) tanpa mengira agama, jenis kelamin, kelas sosial, latar belakang orang tua, dan latar belakang lain yang bersifat eksternal. Anthony Downs berpendapat, dalam konteks rational choice ini, ketika pemilih tidak mendapatkan manfaat atau faedah dari partai politik atau calon yang sedang berkompetisi, ia bahkan tidak akan melakukan pilihan dalam pemilu. Para pemilih lebih mempertimbangkan aspek costs and benefits sebelum menentukan pilihan. Costs and benefits itu berdasarkan program-program yang bersentuhan langsung dengan dirinya. Dari sini, secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa, “jika tidak ada efek atau keuntungan buat gw, buat apa gw milih. Toh ngga ada untungnya atau ngga ada ruginya juga buat diri gw, gw bisa makan juga karena gw usaha gw sendiri, bukan bantuan dari calon-calon itu”.
Memang kita tidak bisa menyebutkan secara pasti pendekatan mana yang dipakai oleh para pemilih di Jakarta dalam menentukan pilihannya, perlu kajian secara empirik untuk mengetahui hal tersebut. Namun, berdasarkan karakteristik serta tingkat pengetahuan yang berbeda-beda dari penduduk Jakarta, menyiratkan pada kita bahwa ketiga pendekatan tersebut masih dipakai bagi masyarakat dalam mengambil keputusan untuk memilih siapa calon yang akan dipilih. Ada masyarakat yang lebih mempertimbangkan aspek sosiologis, psikologis, dan juga motif ekonomi & politik.
Para pemilih di Jakarta sebagian besar memakai pendekatan psikologis. Masyarakat kota Jakarta sebagian besar merupakan masyarakat yang bersifat individualistis, jarang terpengaruh oleh lingkungannya tatkala menentukan sebuah pilihan untuk memilih. Disamping itu juga kelas menengah di Jakarta sudah cukup cerdas untuk memilih, dan arus informasi sudah cukup baik. Dengan memunculkan isu-isu yang cerdas dan berkualitas. Dan hal terpenting jika ingin menang adalah buat program-program yang langsung bersentuhan kepada masyarakat, serta yang dapat memberikan benefits kepada masyarakat. Jika masyarakat sudah merasa diuntungkan, masyarakat pun tidak segan-segan memberikan dukungannya bagi kandidat tersebut.
Sejauh ini, Jokowi telah mampu mencuri emosi dan psikologis masyarakat. Sosok Jokowi banyak diidentifikasikan sebagai simbol kehadiran pemimpin ditengah-tengah masyarakat, berpihak ke rakyat kecil, mau memberdayakan masyarakat, menjadi sebuah pelepas dahaga tersendiri bagi masyarakat Indonesia ditengah krisis kepemimpinan dan krisis kepercayaan yang melanda bangsa Indonesia selama bertahun-tahun. Dukungan yang besar terhadap Esemka ditunjang dengan peran media yang sering memberitakan sisi positif Jokowi, semakin memuluskan jalannya menuju Ibukota. Masyarakat merindukan kehadiran sosok pemimpin yang memiliki kepentingan untuk memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat. Esemka siap jadi ‘mobil’ Jokowi menuju DKI-1. Atau Esemka belum cukup mampu untuk mengantarkan bosnya menuju Medan Merdeka.
*mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP, Unpad.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA DULU ATAU LOGISTIK DULU?

Tak Melulu Salah Menitipkan Anak pada Orang Tua

SURAT CINTA UNTUK RASULULLAH SAW