MENCARI SISTEM PEMILIHAN GUBERNUR-WAGUB
By: Oki
Kurniawan
Perdebatan mengenai mekanisme
pemilihan kepala daerah, baik daerah tingkat provinsi ataupun di tingkat
kabupaten/kota, apakah dipilih langsung oleh rakyat di daerah tersebut atau
melalui lembaga perwakilan rakyat daerah, masih menjadi topik yang enak untuk
diperbincangkan. Hal tersebut tidak bisa terlepas dari adanya sistem demokrasi
yang ada di tingkat daerah.
Demokrasi telah berkembang dan
kini telah mengakomodir hak-hak politik rakyat yang berada di daerah. Demokrasi
juga yang melahirkan sistem otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengatur sendiri rumah tangganya dengan
memperhatikan pada kekhasan dari daerah masing-masing. Begitu pun dalam hal
politik, otonomi daerah memberikan ruang yang besar bagi rakyat di daerah untuk
memilih pemimpin daerahnya.
Dalam demokrasi, kedaulatan
tertinggi ada ditangan rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan berasal dari
rakyat, dikelola oleh rakyat dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Namun,
dalam prakteknya, tidak semua rakyat bisa memiliki kebebasan dalam menjalankan
kekuasaannya. Pelaksanaan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintah
dilaksanakan oleh sedikit orang. Dengan kenyataan yang seperti ini, kita juga
tidak perlu memaksakan bahwa pelaksanaan pemerintahan harus dijalankan oleh
seluruh rakyat. Namun, yang perlu ditekankan adalah bagaimana menciptakan
sistem yang menjalankan prinsip bahwa rakyat yang memerintah itu dapat
terlaksana meskipun yang menjalankan pemerintahan adalah sekelompok kecil
rakyat (elit). Untuk itu, pemerintah yang mewakili rakyat haruslah pemerintahan
yang mendapat legitimasi dari rakyat. Legitimasi pemerintah itu di dapat
melalui sistem pemilihan umum secara langsung maupun perwakilan.
Indonesia pernah menerapkan
kedua model tersebut dalam memilih kepala daerah. Pada masa orde Baru, kepala
daerah dipilih oleh dewan perwakilan rakyat yang ada di daerah (DPRD). DPRD
merupakan suatu badan yang terdiri orang-orang yang mewakili rakyat di daerah.
DPRD juga disebut sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat di tingkat
lokal, sehingga memiliki wewenang untuk memilih dan mengangkat seorang gubernur
dan juga wakilnya.
Masa reformasi menjadi titik tolak perubahan. Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, merubah sistem pemerintahan Indonesia dari
yang awalnya bersifat sentralistik menjadi menerapkan sistem desentralisasi
atau otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian
pada tahun 2004, UU No. 22 tahun 1999, direvisi menjadi Undang-Undang No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 UU No. 32 tahun 2004. Dalam pasal 24 UU No. 32 tahun
2004 disebutkan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Namun saat ini mulai terjadi lagi suatu ‘kegalauan’ dalam
memilih kepala daerah, apakah akan dipilih melalui DPRD seperti dimasa lalu
atau melanjutkan sistem pemilihan langsung yang saat ini diterapkan? Dan
tentunya kita harus memilih sistem mana yang baik diantara keduanya.
Ditinjau dari sudut pandang biaya, memang pemilihan kepala
daerah melalui pemilihan langsung dapat menghabiskan anggaran yang cukup besar.
Dalam pemilihan langsung, daerah harus mengeluarkan sejumlah uang untuk
pelaksanaan pemilihan umum. Dengan pemilihan melalui DPRD, maka anggaran yang
akan dikeluarkan tentu akan lebih sedikit. Karena tidak perlu mengeluarkan
anggaran untuk pengadaan logistik pemilu atau keperluan lainnya. Namun
persamaannya adalah praktek politik uang dalam pemilu sukar dihilangkan.
Selain penghematan anggaran, mekanisme pemilihan gubernur
melalui lembaga perwakilan rakyat daerah juga memiliki sisi yang positif yaitu
dapat mengurangi sengketa dalam pemilihan gubernur. Pada masa Orde Baru dengan
dipilihnya gubernur melalui DPRD, jarang terjadi suatu sengketa atau konflik
diantara calon-calonnya. Selain itu, pemilihan gubernur melalui DPRD dapat menciptakan
suatu hubungan yang harmonis antara kepala daerah sebagai lembaga eksekutif di
daerah dan juga DPRD sebagai lembaga legislatif di daerah. Karena kepala daerah
mendapat mandat dan legitimasi dari DPRD.
Namun, kelemahan dalam sistem seperti ini adalah rakyat tidak
bisa berpartisipasi secara aktif dalam proses seleksi kepemimpinan di
daerahnya. Partisipasi masyarakat merupakan hal yang paling fundamental dalam
sistem demokrasi. Bila tidak dipilih oleh rakyat, dan pilihan dari DPRD tidak
sesuai dengan rakyat, maka seorang kepala daerah boleh dikatakan tidak mendapat
legitimasi dari rakyat. Meskipun dipilih oleh wakil-wakil rakyat.
Pemilihan gubernur melalui DPRD juga memiliki kemungkinan
yang besar akan adanya praktek-praktek politik transaksional. Dimana seorang
calon gubernur yang akan ingin dipilih, bisa saja memberikan uang kepada
anggota-anggota legislatif daerah untuk memilih calon gubernur tersebut.
Dan kini, di Indonesia, demokrasi tidak hanya berada pada
tingkat pusat, namun juga sudah menjalar ke tingkat daerah. pemilihan kepala
daerah dilakukan secara langsung. One
man/women, one vote, one value. Dengan dipilihnya gubernur melalui
mekanisme pemilihan langsung, dapat menghasilkan seorang pemimpin yang memiliki
legitimasi yang kuat dari rakyatnya. Karena mendapat mandat dari rakyat secara
langsung, maka akuntabilitas pemerintahan bisa dicapai secara optimal.
Ditinjau dari segi biaya, mekanisme pemilihan langsung memang
mengharuskan pemerintah daerah untuk mengeluarkan anggaran yang besar untuk
pelaksanaannya. Anggaran pemilu yang besar tersebut, kadangkala dapat menyedot
porsi anggaran di bidang lain yang lebih penting. Sehingga dapat mengganggu
proses pembangunan di daerah.
Disamping itu, pemilihan gubernur secara langsung dapat juga
memicu munculnya berbagai konflik. Mulai dari konflik pemilu atau konflik antar
peserta. Banyak kasus di Indonesia tentang bagaimana pelaksanaan demokrasi di
tingkat lokal harus berakhir dengan berbagai sengketa yang berkepanjangan
seperti pada di pemilihan walikota Tanggerang Selatan. Dan juga bisa sampai
pada kerusuhan seperti di Papua. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan dari pihak
yang kalah sehingga menggugat pihak yang menang.
Selain konflik antar calon, pemilihan gubernur secara
langsung juga sering menimbulkan ketidak harmonisan antara DPRD sebagai lembaga
legislatif di daerah dan gubernur sebagai kepala eksekutif di daerah. Ketidak
harmonisan ini tentu akan menghambat jalannya roda pemerintahan di daerah.
karena kultur dan persepsi antar lembaga yang saling curiga.
Nampaknya, hal yang terbaik di antara keduanya adalah dengan
mekanisme pemilihan gubernur secara langsung. Karena dengan pemilihan secara
langsung, rakyat merasa diikut sertakan dalam proses politik dan pemerintahan
di daerahnya dan pemilihan langsung akan melahirkan pemimpin yang memiliki
legitimasi kuat dari rakyatnya.
Namun, jika diperbolehkan untuk menawarkan suatu mekanisme
lain, saya berpendapat bahwa pemilihan eksekutif di daerah dipilih melalui
pemilihan langsung dan juga dipilih oleh DPRD. Untuk mengisi jabatan Gubernur
harus dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung,dan untuk wakil gubernur
dipilih melalui DPRD. Dengan demikian, eksekutif akan mendapat dua legitimasi
yaitu dari rakyatnya langsung dan juga dari DPRD. Sehingga diharapkan dapat
menciptakan harmonisasi dan checks and balances system antara eksekutif,
legislatif dan rakyat di tingkat daerah.
Pemilihan umum tidak bisa dilepaskan dalam sistem demokrasi. Pemilihan gubernur secara langsung atau melalui DPRD, memang memiliki kelemahan dan juga kelebihannya. Namun, utamanya adalah bahwa pemimpin itu harus mendapat legitimasi dari rakyat. Pemimpin yang berasal dari aspirasi rakyat secara mayoritas, bukan hanya pilihan dari beberapa elit politik saja. Dengan mekanisme proses seleksi kepemimpinan yang demokratis dan bersih niscaya dapat menghasilkan suatu pemimpin yang memiliki orientasi kepada rakyat dan membawa kesejahteraan bagi rakyat dan mampu menjalankan roda pemerintahan daerah dengan baik.
Komentar
Posting Komentar