JOKOWI BUKAN DONGKRAK & LEGITIMASI AHER-DEMIZ DI JAWA BARAT


Oleh: Oki Kurniawan


Minggu ini ada hal menarik selain membahas tentang kemenangan Real Madrid atas Barcelona dan Manchester United, kasus mutilasi BS, serta drama Raffi Ahmad dengan metilonnya. Lantas, apa hal menariknya? Yaitu, psywar antara PKS dan PDIP mengenai pilgub di Jawa Barat dan Sumatera Utara.   

Seperti yang dilansir dari situs warta online, detik.com, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyindir kegagalan PDI Perjuangan mengerahkan Joko Widodo untuk memenangkan calon gubernur dalam Pilgub Jawa Barat dan Sumatera Utara. PKS menilai efek Jokowi tidak mempan di luar wilayah kekuasaannya, DKI Jakarta.

Melalui Sekjennya, Tjahjo Kumolo, PDIP menjawab sindiran PKS yaitu, "Jokowi kan tidak mungkin kampanye di satu Pilkada daerah di seluruh kabupaten/kota. Peran Jokowi hanya memberikan semangat dalam satu-dua kampanye terbuka,".

Kemudian Jokowi pun menjawab, “Jokowi itu bukan tukang dongkrak”.

Menurut hemat ane, ucapan Jokowi ini bukan hanya sekedar menjawab sindiran dari PKS, tetapi untuk menyindir partainya juga, PDIP. Maklum, Jokowi kan orang Jawa, kebanyakan orang Jawa sifatnya itu jarang mengungkapkan sesuatu secara terang-terangan, mesti teliti klo mau menafsirkan perbuatan atau ucapan dari orang Jawa. Yaa, itu sekedar intermezzo saja.

“Saya bukan dongkrak”, kata Jokowi. Pernyataan itu sebagai sindiran Jokowi ke PDIP, kalau kita ‘ngebaca beritanya secara utuh, Jokowi kan bilang, yang menentukan kemenangan itu figur dari calon itu sendiri. Artinya, penentu kemenangan dalam pilkada bukan berasal dari kinerja mesin partai, apalagi figur seorang juru kampanye (jurkam). Jokowi bukan Rieke, Jokowi juga bukan Effendi Simbolon. Makanya, PDIP jangan ngajak Jokowi buat kampanye di daerah-daerah. Jokowi, Rieke Diah, Effendi Simbolon, masing-masing kan berbeda. Kekuatan figur, karakter, gaya kepemimpinannya berbeda-beda. Ane memandang, ucapan Jokowi ini juga buat PDIP. Bukan sekedar untuk menjawab sindiran PKS.

“Klo PDIP mau menang di pilgub atau pilkada, ya tawarkan figur yang baik untuk dipilih oleh masyarakat, jangan Jokowi yang di jadiin dongkrak”. Mungkin, kira-kira seperti itu maksud terselubung dari Bang Jokowi, klo dari penafsiran ane sendiri lho.    

Jokowi menang di pilgub Jakarta juga karena faktor figur dirinya sendiri, karena karakter dia sendiri. Bukan karena dia diusung dari PDIP atau Gerindra. Bukan karena faktor Megawati, Prabowo, atau jurkam lain. Coba aja tanya ke para pemilih Jokowi di Jakarta kemaren. Apa alasannya milih Jokowi? Klo ane sih, milih Jokowi karena karakter kepemimpinannya dia, karena track record-nya Jokowi. ditambah lagi, Mei 2011 (jauh sebelum pilgub DKI di tahun 2012), ane pernah ke Solo. Ngobrol-ngobrol sama tukang becak, dia bilang, dia lebih suka sama walikota dibanding sama raja kraton Surakarta.  Eehhh, kebetulan dia nyalon di pilgub DKI tahun 2012, yaudah dehh, dicoblos mukanya Jokowi di surat suara.

Klo pun SBY ikut dalam kampanye Dede Yusuf di Jawa Barat, klo figur Dede Yusuf ngga kuat di masyarakat Jawa Barat, Dede juga bakal kalah. pilkada itu pertarungan figur, bukan partai. Termasuk dalam pilpres. Ane sendiri, di pileg (pemilu legislatif) tahun 2014 nanti, kayanya memilih untuk golput. Klo di pilpres, tergantung siapa calon-calonnya.  Dan sepertinya, orang lain juga banyak yang berfikiran demikian.

Aher-Demiz menang, ya karena figur Aher atau karena figur Deddy Mizwar yang mempengaruhi pilihan pemilih. Parpol pendukung, ngga berpengaruh banyak.

Klo mau dianalisis lebih dalam, apakah mayoritas (50% + 1) masyarakat Jawa Barat memilih Aher-Deddy Mizwar buat jadi gubernur & wagub Jabar 5 tahun mendatang? Atau lebih dari 30% masyarakat Jawa Barat memilih Aher-Deddy Mizwar, seperti syarat dari UU 32 tahun 2004?

Kita ulas jawabannya ya..

KPU Jabar bilang, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT), artinya orang yang berhak memilih dalam pilgub Jabar, yaitu sebanyak  32.536.980 orang (dilansir dari merdeka.com). sedangkan yang memilih Aher-Deddy Mizwar sebanyak  6.515.313 suara (dilansir dari kpu.jabarprov.go.id).

Klo mau kita hitung-hitung perbandingan antara jumlah DPT dengan perolehan suara Aher-Deddy Mizwar, hasilnya, yang memilih Aher-Deddy ngga lebih dari 1/5 dari jumlah DPT. Jangankan mencapai 50% atau 30% suara. Suara 25% atau seperempat masyarakat Jawa Barat aja ngga tercapai. Artinya, legitimasi atau dukungan masyarakat Jawa Barat untuk Aher-Deddy Mizwar ini kecil sekali.

Ditambah lagi jika kita melihat dari jumlah kursi partai pengusung Aher-Demiz di DPRD Jawa Barat, yaitu PKS, Partai Hanura, dan PPP . Dari 100 kursi DPRD Jabar, PKS memiliki 13 kursi, PPP 8 kursi, dan Hanura 3 kursi (dilansir dari nasional.news.viva.co.id). Jika digabungkan jumlah kursi parpol pendukung Aher-Demiz di DPRD Jabar berjumlah 24 kursi, atau sekitar 24%.

Rasanya tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa, mungkin hanya fansboy PKS Jawa Barat saja yang memilih Aher-Deddy Mizwar, ditambah dengan sebagian kader partai koalisi pengusung Aher-Demiz, yaitu Hanura dan PPP. Bagaimana dengan rakyat Jawa Barat diluar fansboy PKS?

Inilah salah satu jebakan dari demokrasi. demokrasi menginginkan adanya suara mayoritas, artinya 50% plus 1. Pemimpin pemerintahan/politik yang mendapatkan legitimasi yang besar, diyakini dapat menjalankan pemerintahannya dengan baik, karena mendapatkan dukungan yang besar dari rakyatnya.

Tapi dalam prakteknya dan dalam kondisi riilnya, apakah tercapai suara mayoritas dalam pilkada? Mungkin ada.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA DULU ATAU LOGISTIK DULU?

Tak Melulu Salah Menitipkan Anak pada Orang Tua

SURAT CINTA UNTUK RASULULLAH SAW