TIMNAS U-19, BUAH MANIS KONFLIK PSSI?*
Masih
ingat bagaimana Indonesia dibantai oleh Bahrain dengan skor 10-0? Masih ingat
dengan adanya dualisme kepengurusan PSSI?
Masih ingatkah kita dengan adanya dualisme liga, ada IPL dan ada ISL?
Nampaknya semua moment buruk itu perlahan terhapus dengan euforia
kegemilangan tim nasional Indonesia U-19. Keberhasilan timnas U-19 menyebet
gelar piala AFF dan juga keberhasilan menggebuk tim ‘Ksatria Taeguk’ dalam
gelaran babak kualifikasi piala AFC, mengelorakan lagi semangat optimisme
publik Indonesia pada bidang sepakbola. Ahaaaiiiyyyy…
Keberhasilan ini apakah
merupakan buah manis dari adanya tersingkirnya mafia-mafia sepakbola yang
selama ini duduk manis mengatur jalannya sepakbola Indonesia? Apakah
keberhasilan ini merupakan buah dari adanya perdamaian antara PSSI dengan KPSI?
Saya akan coba berikan sedikit analisis apa yang menyebabkan tim-nas U-19 sedikit
demi sedikit mampu menghapus dahaga masyarakat akan prestasi sepakbola
Indonesia.
Pertama, adalah kebebasan
pelatih dalam memilih pemain dalam skuad. Dalam tim U-19 ini, tidak ada pihak
yang mengatur atau mengintervensi pelatih dalam memilih pemain-pemainnya. PSSI,
tidak. Pihak luar, ngga. Apalagi campur tangan FIFA, ngga. Flashback saat Indonesia masih mengalami konflik internal. Pelatih
kesulitan sekali untuk memilih pemain terbaik. Syarat pemain yang boleh membela
tim nasional yaitu bermain di liga yang diakui oleh FIFA. Ketika gerbong Nurdin Halid yang berkuasa,
pemain-pemain yang bermain di IPL, tidak boleh bermain di timnas. Begitupun
ketika faksi Djohar Arifin yang mengakui IPL sebagai liga resmi, pemain-pemain
yang bermain dalam kompetisi ISL dilarang untuk membela tim-nas. Dengan adanya
regulasi ini, tentu pelatih memiliki pilihan yang terbatas untuk mengisi skuad
Merah-Putih. Akhirnya dipilih jalan
pintas, naturalisasi.
Hal ini berbeda dengan skuad
Merah-Putih di kategori umur Under-19. Siapa
yang mengenal Evan Dimas sebelumnya? Siapa yang tau di klub mana Hargianto
bermain? Siapa yang tau di kompetisi mana Ravi Murdianto, Paulo Sitanggang,
Putu Gede, Hansamu Yama, Ilhamudin Armaiyn, dan sederet pemain lainnya,
bermain?
Memilih pemain untuk tim
nasional adalah hak prerogatif dari seorang pelatih. Sama halnya dengan
presiden yang memiliki hak prerogatif dalam memilih atau memberhentikan
menteri-menterinya. Tidak ada aturan
untuk itu. Semestinya hal ini juga berlaku bagi sepakbola. Tidak ada aturan
tertulis yang mengharuskan bahwa pemain-pemain tim nasional harus merupakan
pemain yang mengkuti kompetisi yang diakui oleh FIFA.
Paradigma yang terbangun
sampai saat ini yaitu bahwa klub-klub yang menyokong tim nasional. Dalam
artinya, pemain-pemain tim nasional merupakan pemain-pemain terbaik yang
berasal dari klub. Semestinya, paradigma yang dibangun adalah, tim nasional
merupakan tempat bagi klub-klub sepakbola untuk mengisi skuadnya. Tim nasional
dijadikan sarana atau tempat promosi diri bagi para pemain agar mampu menarik klub-klub idamannya untuk merekrutnya. Dengan
demikian, pemain akan lebih taat kepada tim nasional dibandingkan kepada klub.
Kita dapat lihat
kasus-kasus, berapa banyak pemain yang terkena sanksi oleh klub, karena membela
tim nasional, namun klub tempatnya bernaung tidak mengizinkannya. Sehingga para
pemain saat ini lebih taat terhadap klub dibanding kepada panggilan membela tim
nasional. Mungkin hanya Bambang Pamungkas, striker gaek timnas kita. Ia berani
mengambil resiko untuk membela tim nasional Indonesia, meskipun tanpa
persetujuan dari klubnya, Persija Jakarta.
Setidaknya ada sisi positif
dari sebuah konflik, yaitu adanya integrasi di dalamnya. Semoga konflik
internal PSSI yang telah terjadi hanya menjadi sebuah catatan sejarah untuk
masa depan.
*Oleh: Oki Kurniawan
Komentar
Posting Komentar