DUEL LIMA TAHUNAN*

Geliat Politik tanah air jelang pemilu 2014 sudah mulai ramai dengan berbagai drama. Partai politik sebagai aktor utama dalam gelaran lima tahunan ini, sampai saat ini masih dinilai masih belum fit. Dua minggu jelang pileg dan pilpres, masing-masing partai justru memiliki problemnya sendiri. Partai Nasdem, yang dulu sering mengudara di televisi dengan jargon “Gerakan Perubahan”, sejak ditinggalkan boss MNC Group, jargon tersebut mulai berkurang intensitasnya dalam menghiasi layar kaca. Tergantikan oleh jargon, “Mewujudkan Mimpi Indonesia”, yang dipopulerkan oleh duet Wiranto dan Harry Tanoe.

Nampaknya sosok Harry Tanoe yang menjadi kunci bagi politisi dalam beriklan secara cuma-cuma. Apakah keputusan Harry Tanoe hijrah ke partai Hanura adalah langkah yang tepat? Apalagi dia sudah mendeklarasikan diri sebagai cawapres mendampingi Wiranto. Deklarasi dini tersebut berbahaya bagi Wiranto maupun Harry Tanoe. Pasalnya, keduanya berasal dari partai yang sama dan juga tidak ada jaminan bahwa hasil pileg nanti membolehkan Hanura mengusung capres-cawapresnya sendiri tanpa perlu koalisi dengan partai lain. Nampaknya, pasangan capres-cawapres ini akan gugur sebelum pilpres dimulai.
       
Partai Golkar juga tengah dilanda konflik internal terkait dengan pencapresan Aburizal Bakrie. Rencana pencapresan Ical tidak berjalan mulus. Sejumlah survei menempatkan elektabilitas Ical masih jauh dibawah Jokowi, Prabowo, Megawati, maupun Jusuf Kalla. Partai Demokrat sebagai rulling party saat ini, juga tengah dilanda krisis kader yang membuat mereka minder.  Sehingga harus membuat sebuah konvensi yang diisi juga oleh kader-kader partai lain. Tidak ada tokoh sekaliber SBY menjadi alasan Demokrat untuk mencari kader melalui konvensi ini.

Secara fair kita harus menilai bahwa konvensi yang dilakukan oleh Demokrat adalah sebuah terobosan yang jitu dalam sistem kepartaian di Indonesia. Konvensi ini dinilai sebagai pembuka jalan bagi tokoh-tokoh alternatif yang tidak memiliki kendaraan politik untuk dapat bersaing mendapatkan jabatan politik melalui partai politik. Konstitusi Indonesia secara rijid menyatakan bahwa calon presiden maupun calon wakil presiden merupakan orang-orang yang dicalonkan oleh partai politik. Pilpres tidak mengenal adanya calon independen. Berbeda dengan pilkada, yang masih membolehkan adanya calon yang berasal dari independen (non-partai). Dengan adanya konvensi ini, terbuka kesempatan bagi tokoh-tokoh yang tidak memiliki partai politik, untuk dapat bersaing di pilpres dengan kendaraan partai politik. Namun, apakah konvensi capres yang diadakan oleh Partai Demokrat ini bertujuan untuk membuka jalan bagi tokoh-tokoh non-partai untuk bersaing di pilpres? Atau bertujuan untuk merekrut kader partai?

Bagaimana dengan partai Islam seperti PKS, PKB, PPP, maupun PAN? Partai-partai menengah ini, jika tidak mau dikatakan partai gurem, nampaknya masih sulit menembus posisi tiga besar di pemilu tahun 2014. Selama partai-partai ini masih mencerminkan sikap yang pragmatis terhadap kekuasaan. Partai-partai Islam, nampaknya kini masih dilanda suatu kegoncangan ideologi. Berkomitmen sebagai partai yang berideologikan Islam atau membuka diri sebagai partai terbuka? Bila terus istiqomah dengan jargon ideologi Islam, apakah ini masih laku dijual untuk mendapatkan simpati dari pemilih?

PKB dan PPP memiliki basis massa dari kalangan NU. PAN cenderung memiliki basis massa dari kalangan Muhammadiyah. PKS sendiri masih mengandalkan jaringan “dakwah” yang disebut dengan mentoring yang ada di kampus-kampus maupun sekolah-sekolah. Ya, basis massa dari partai-partai Islam memang masih mudah diperhitungkan. Dan ini sifatnya cenderung tetap. Tidak ada perubahan suara yang signifikan yang diperoleh partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu. Mungkin ini yang membuat PAN maupun PKS, membuka diri untuk orang-orang diluar Islam untuk masuk dalam partainya. Apakah ini tandanya ideologi Islam telah mati?

Yang paling menarik adalah pada partai Gerindra dan PDIP. Dua partai ini yang paling konsisten sebagai partai oposisi, setidaknya dalam kurun waktu kekuasaan SBY. Sepuluh tahun berperan sebagai oposisi di parlemen dan tidak masuk ke dalam jajaran kabinet, tentu membuat Partai Gerindra maupun PDIP memiliki hasrat untuk menjadi the rulling party di pemerintahan berikutnya. Adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Partai Demokrat dan kawanan koalisinya, menyumbangkan benefit tersendiri bagi partai Gerindra dan juga PDIP untuk menarik simpati serta harapan masyarakat. Partai Gerindra dan juga PDIP mencitrakan diri sebagai antitesis dari partai-partai penguasa, dan juga mempersepsikan diri sebagai partai yang melawan status quo.

PDIP dan Gerindra sama-sama mengetahui bahwa tren perilaku memilih masyarakat Indonesia ini yaitu lebih cenderung kepada figur kandidat, bukan kepada party id atau identifikasi partai. Mereka sama-sama mengeluarkan figur untuk mendongkrak suara partainya di pemilihan umum legislatif. Gerindra mengeluarkan Prabowo Subianto, sedangkan PDIP mengeluarkan sosok gubernur kurus, Joko Widodo. 

Hasil pemilu legislatif sangat menentukan bagi partai-politik untuk bisa mengusung calon presiden maupun wakil presiden. Apakah bisa mengusung kandidat presiden dan wakil presiden sendiri atau harus berkoalisi dengan partai lain. Selain itu, kemenangan partai politik dalam perolehan kursi di parlemen juga bisa mempengaruhi jalannya pemerintahan. Bila satu partai politik menguasai mayoritas kursi di DPR, dan presidennya juga berasal dari partai yang sama, tentu akan memuluskan langkah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif untuk menjalankan program-programnya, tanpa harus banyak menggunakan lobi-lobi politik dengan partai lain yang ada di DPR.

Siapakah yang akan menjadi partai penguasa lima tahun kedepan? Jawabannya ada di tangan rakyat. Pemilu adalah sebuah jembatan emas, namun penuh jebakan. Lima tahun terasa sebentar bagi kebersamaan cinta antara rakyat dan pemimpinnya. Sebaliknya, lima tahun adalah masa yang lama bagi rakyat untuk bersama pemimpin yang salah.

*Oleh: Oki Kurniawan, S.IP.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA DULU ATAU LOGISTIK DULU?

Tak Melulu Salah Menitipkan Anak pada Orang Tua

SURAT CINTA UNTUK RASULULLAH SAW